3 UTS-3 My Stories for You
3.1 Merantau: Dari Samarinda ke Jawa Tengah, Lalu Jatinangor
3.1.1 Prolog: Jakarta, Sulawesi, dan Kalimantan — Akar yang Tersebar
Ketika orang bertanya, “Kamu dari mana?”, saya selalu berhenti sejenak.
Lahir di Jakarta. Orang tua dari Sulawesi. Tumbuh besar di Samarinda, Kalimantan Timur sejak balita. Sekolah SMA di Jawa Tengah. Kuliah di Jatinangor.
Tidak ada satu tempat yang bisa saya sebut “kampung halaman” dalam arti tradisional. Saya adalah anak perantauan sejati—bukan karena pilihan di awal, tapi karena itulah jalan yang diambil keluarga saya, dan kemudian jalan yang saya pilih sendiri untuk dilanjutkan.
Dan dalam perjalanan itu, saya belajar satu hal penting: “Home” bukan tempat. “Home” adalah orang-orang yang datang dan pergi, mengisi bab-bab berbeda dalam hidup kita, meninggalkan pelajaran dan kehangatan yang kita bawa ke chapter selanjutnya.
3.1.2 Babak 1: Samarinda (Balita - SMP) — Akar yang Pertama Kali Kukecap
Samarinda adalah tempat pertama yang saya ingat dengan jelas. Kota tepian Sungai Mahakam, panas, ramai, penuh warna. Ini adalah kota di mana saya belajar berjalan, berbicara, dan—eventually—berpikir.
SD sampai SMP, saya anak yang cukup “aman.” Tidak paling pintar, tapi tidak tertinggal. Teman-teman banyak. Guru-guru suka. Orang tua happy. Classic “anak baik-baik.”
Tapi ada satu hal yang bikin saya berbeda: saya suka fisika. Bukan karena cita-cita jadi ilmuwan, tapi karena fisika itu… puzzle. Ada logika. Ada pattern. Ada satisfaction ketika rumus yang tadinya abstrak suddenly makes sense di real world.
Lomba fisika jadi arena di mana saya menemukan confidence pertama kali. Menang beberapa kompetisi regional, dapat medali, dapat apresiasi. Dan yang paling penting: dapat rasa percaya diri bahwa “I can compete beyond my comfort zone.”
Tapi Samarinda juga mengajarkan saya sesuatu yang baru saya sadari bertahun-tahun kemudian: rasa “aman” itu bisa jadi zona nyaman yang membatasi. Semua orang kenal saya. Semua tempat familiar. Tidak ada surprise. Tidak ada tantangan besar.
Dan suatu hari, saya bertanya pada diri sendiri: “Apa yang akan terjadi kalau saya keluar dari zona ini? Apakah saya bisa survive di tempat yang completely asing?”
Jawaban dari pertanyaan itu datang dalam bentuk surat penerimaan beasiswa SMA Pradita Dirgantara, Jawa Tengah.
3.1.3 Babak 2: SMA Pradita Dirgantara, Jawa Tengah (SMA) — Ketika “Rumah” Menjadi Konsep Asing
Tahun pertama adalah neraka.
Tidak ada cara lain untuk mendeskripsikannya. Saya datang ke Jawa Tengah dengan backpack, beasiswa 3 tahun, dan optimisme naif bahwa “pasti bisa kok.”
Reality check: Tidak bisa. Atau setidaknya, not immediately.
3.1.3.1 First Month: Culture Shock yang Tidak Terduga
Saya kira tantangan terbesar adalah akademik. Ternyata salah besar. Tantangan terbesar adalah being alone in a completely alien environment.
- Bahasa: Teman-teman asrama mostly orang Jawa. They switch between Indonesian and Javanese casually. Saya? Stuck di Indonesian only, sometimes feeling left out from inside jokes.
- Makanan: Homesick bukan cuma rindu orang tua. Homesick itu rindu nasi kuning Samarinda, soto Banjar, ikan bakar yang rasanya exactly seperti yang Mama masak. Cafeteria food here? Bland. Different. Wrong.
- Sistem asrama: Bangun jam 4:30 pagi untuk Subuh berjamaah. Olahraga pagi. Seragam rapi. Disiplin tinggi. Coming from “anak bebas” di Samarinda, ini… suffocating.
3.1.3.2 The Lowest Point: Ujian Pertama
Saat bulan ujian, sungguh berat rasanya. Terasa seperti tertinggal sangat jauh dibanding dengan teman-teman. Tidak di akademik saja, tapi di relasi. Ada pikiran-pikiran untuk menyerah saja dan pulang.
Tapi, saya langsung teringat dengan perkataan orang tua yang sudah menyiapkan mentalku untuk merantau jauh.
“Apa yang sudah dimulai, harus diselesaikan. Menang ataupun kalah. Bahkan jika pun belum tahu hasilnya, jangan mundur sebelum berperang.”
Saya berubah pikiran, saya tidak ingin mengecewakan mereka, dan terutama mengecewakan diriku sendiri yang sudah berjuang sejauh ini.
Saya tidak pulang.
3.1.3.3 Turning Point: Year Two — Finding My Tribe
Tahun kedua berbeda. Bukan karena suddenly everything jadi mudah, tapi karena saya mulai menemukan cara saya untuk thrive di tempat asing:
Join lomba komputer. Saya inget, waktu ikut lomba programming pertama kali, saya ga punya ekspektasi menang. Tapi somehow, saya menang. Dan itu jadi catalyst—oh, ternyata I can excel in something here. I’m not just “the outsider kid from Kalimantan.”
Build my own circle. Saya berhenti trying to fit into existing groups dan mulai build koneksi dengan orang-orang yang share similar interest (komputer, fisika, coding). Mereka datang dari berbagai daerah juga. We were all “outsiders” in our own way, and that commonality created home.
Reframe “homesick” as “home-growth.” Instead of longing for Samarinda, saya mulai appreciate what Jawa Tengah taught me that Samarinda couldn’t: independence, resilience, adaptability, dan—ironically—deeper appreciation untuk orang tua yang tidak bisa saya telepon setiap hari.
Jawa Tengah felt like… not home, but something close. A chapter I was proud to have lived.
3.1.4 Babak 3: ITB (Kuliah / S1) — The Pattern Repeats, But I’m Different
2023. Diterima ITB Teknik Informatika jalur undangan.
Saya ingat reaksi pertama saya: bukan “YES!” tapi… “Oh no, here we go again.”
Karena ITB means another new city, another set of strangers, another round of being “the outsider.”
Tapi ada perbedaan besar kali ini: I’ve done this before. And I know I can do it again.
3.1.4.1 First Semester: Familiar Feeling, Different Response
Arriving di Jatinangor, saya recognise the pattern immediately:
- Homesick? Check. (But this time, I know it’s temporary.)
- Culture adjustment? Check. (Jatinangor coffee culture, Sundanese language, campus rhythm—all new. But I’ve adapted to “new” twice already.)
- Imposter syndrome? Check. (“Everyone here seems smarter. Am I good enough?” Classic.)
The difference: Saya tidak menunggu “sampai terbiasa” untuk start building connections. Saya langsung:
- Join organisasi (Kepanitiaan-Kepanitiaan, KM ITB, HMIF ITB) bukan karena resume, tapi karena saya tahu community is how you build “home” in a new place.
- Say yes to opportunities bahkan yang di luar comfort zone. Ketua IT Parade Wisuda? Dirjen Back-End? Wakil Ketua Back-End? Past me would hesitate. Current me? “Let’s do it.”
- Embrace being the “new person” instead of hiding it. Kadang saya literally introduce myself as “Hi, I’m from Samarinda, studied in Jawa Tengah, now here. So if I mess up Sundanese, please correct me gently haha.”
People appreciated the honesty and vulnerability. And that vulnerability became the bridge, not the barrier.
3.1.4.2 The Realization: I Am Collecting People, Not Places
Semester 5 sekarang, saya duduk di kosan Jatinangor, scrolling through WhatsApp contacts:
- Teman SD/SMP Samarinda yang masih saya chat kalau lagi kangen “home”
- Teman asrama SMA Jawa Tengah yang occasionally reunian dan share cerita how we’ve all grown
- Teman ITB yang sekarang jadi tim, partner organisasi, support system
Dan saya realize: saya tidak punya “satu rumah,” tapi saya punya banyak rumah—scattered across Indonesia, but connected by the stories we shared.
Setiap kota mengajarkan sesuatu yang berbeda:
- Samarinda: Taught me roots. Bahwa punya akar itu penting, even if you’re not always there.
- Jawa Tengah: Taught me resilience. Bahwa “survive alone” is possible, and you’re stronger than you think.
- Jatinangor: Teaching me synthesis. Bahwa semua pengalaman “being the outsider” actually prepared me to lead, connect, and hold space for others who also feel like outsiders.
3.1.5 Epilog: What “Home” Really Means — Lessons from a Lifelong Outsider
Looking back at this journey—from Samarinda to Jawa Tengah to Jatinangor—here’s what I’ve learned:
3.1.5.1 1. “Home” is Not a Place, It’s a Feeling You Carry
Saya tidak bisa bilang “kampung halaman gue adalah Samarinda” atau “Jawa Tengah” atau “Jatinangor.” Tapi saya bisa bilang: “Home is wherever I choose to build connection, contribute, and grow.”
Jakarta (birthplace) gave me origin.
Sulawesi (roots) gave me heritage.
Samarinda (childhood) gave me foundation.
Jawa Tengah (adolescence) gave me resilience.
Jatinangor (now) is giving me purpose.
Dan semua itu coexist inside me. I don’t have to pick one.
3.1.5.2 2. Loneliness is Temporary; Connection is a Choice
Tahun pertama di Jawa Tengah, saya pikir “loneliness” adalah hukuman dari merantau. Turns out, loneliness is just the transition phase before you build new connections.
The key: proactively reach out. Join organizations. Say yes to coffee invites. Share your story. Ask others theirs. Connection doesn’t happen to you—you create it.
3.1.5.3 3. Being “The New Person” is a Skill, Not a Curse
Setiap kali saya datang ke tempat baru, saya initially saw it as “starting from zero again.” Sekarang saya see it as “bringing everything I’ve learned to a new context.”
Saya not starting from zero di Jatinangor. Saya starting dari: - Samarinda’s groundedness (knowing where I came from) - Jawa Tengah’s resilience (knowing I can survive alone) - All the people I’ve met along the way (knowing I’m never truly alone)
That’s not zero. That’s richness.
3.1.6 Pesan untuk Anda: If You’re the “New Person” Right Now
Jika Anda sedang di posisi di mana:
- Baru pindah ke kota/sekolah/kampus baru
- Merasa seperti “outsider” yang tidak belong
- Homesick dan questioning “apa saya bisa survive di sini?”
- Melihat orang lain already punya circle, sementara Anda masih sendirian
Ini untuk Anda:
3.1.6.1 You Are Not Alone in Feeling Alone
Setiap orang yang pernah merantau—atau bahkan just masuk ke lingkungan baru—pernah feel like you. Bedanya, tidak semua orang honest about it. Jangan compare your “behind the scenes” dengan orang lain’s “highlight reel.”
3.1.6.2 Give Yourself Grace in the Transition
Tahun pertama saya di Jawa Tengah, saya judge diri sendiri: “Kok orang lain bisa adapt cepat, kenapa gue ga bisa?” Turns out, mereka juga struggling—just differently. Adapting takes time. And that’s okay.
You’re not failing. You’re just in the hardest part of the curve—the beginning.
3.1.6.3 Build Your Own Tribe
Jangan tunggu sampai “feel comfortable” untuk start building connections. Start now. Say hi to the person sitting next to you. Join one organization. DM someone on social media yang share similar interest.
Home is not given to you—you build it, one connection at a time.
3.1.6.4 Your “Outsider Status” is a Superpower in Disguise
Being the new person means: - You see things others (who are too comfortable) miss - You appreciate connections more deeply (karena you know how it feels to not have them) - You develop adaptability (which is THE most valuable skill in a changing world)
Don’t rush to “fit in.” Build something new with other people who also don’t quite fit in. That’s where magic happens.
3.1.7 A Letter to My Past Self (and Maybe to You)
Dear Farhan di tahun pertama Jawa Tengah yang bersusah payah dengan segala hal,
Saya tahu rasanya berat. Saya tahu kamu merasa sendirian. Saya tahu kamu questioning “apa keputusan ini salah?”
But here’s what I need you to know: You are building a skill that will define your entire life—the ability to thrive in unfamiliar territory. Dan skill ini, you won’t learn it if you stay in Samarinda.
Teman-teman yang will become your support system? Mereka akan datang—di year kedua, di ITB, di chapter-chapter selanjutnya. Tapi mereka tidak akan datang kalau you give up sekarang.
Rasa “tidak belong” ini temporary. Tapi strength yang kamu build dari survive this? Itu permanent.
Tetaplah jalan. Tetaplah buka hati untuk orang-orang baru. Tetaplah percaya bahwa “home” bukan harus satu tempat—tapi bisa many places, connected by the stories you collect.
You will be okay. More than okay. You’ll be proud of who you become because you chose to stay.
— Andi Farhan Hidayat, semester 5 ITB, writing from Jatinangor, with gratitude untuk semua tempat dan orang yang membentuk perjalanan ini.
P.S.: Kalau kamu baca ini dan sedang merantau, struggling, atau feeling lost—feel free to reach out. Saya tidak punya semua jawaban, tapi saya punya cerita. Dan kadang, knowing that someone else survived something similar is enough untuk give you courage to keep going.
Because “merantau” bukan cuma tentang perpindahan geografis. It’s about perpindahan identitas—from “anak yang dependent on familiar” menjadi “orang yang capable of building home anywhere.”
Dan kalau saya bisa, you definitely can.
Untuk Mama dan Etta (Ayah/Bapak): Terima kasih sudah mengajarkan bahwa “selesaikan yang sudah dimulai, jangan menyerah sebelum berperang”. Untuk teman-teman di Samarinda, Jawa Tengah, dan Jatinangor: Thank you for being my “home” di berbagai chapter. Terima kasih.