1 UTS-1 All About Me
1.1 Perkenalan Diri
Halo! Nama saya Andi Farhan Hidayat, mahasiswa semester 5 jurusan Teknik Informatika di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI-K) Institut Teknologi Bandung. Perjalanan saya di ITB dimulai dengan mimpi sederhana: menjadi seorang teknolog yang tidak hanya mahir dalam coding, tetapi juga memahami bagaimana teknologi dapat memberdayakan komunitas dan menciptakan dampak nyata.
1.2 Filosofi Hidup: Mengumpulkan Cerita, Bukan Piala
Jika ada satu kalimat yang merangkum perjalanan saya, mungkin ini: “Aku sering mengikuti lomba, tapi tidak pernah membawa pulang piala—hanya membawa cerita, pengalaman, dan harapan baru agar suatu hari nanti bisa menang.”
Kalimat ini bukan ungkapan kekalahan, melainkan refleksi dari sebuah keyakinan: bahwa nilai sejati dari sebuah kompetisi bukan terletak pada trofi yang dipajang di rak, melainkan pada proses pembelajaran, resiliensi yang dibangun, dan koneksi dengan sesama kompetitor yang berbagi visi yang sama.
Setiap lomba yang saya ikuti—dari hackathon, kompetisi pemrograman, hingga case competition—mengajarkan saya sesuatu yang berbeda:
- Kegagalan adalah guru terbaik. Setiap kali tidak lolos ke babak final, saya belajar mengidentifikasi kelemahan dalam strategi, komunikasi tim, atau implementasi teknis.
- Jaringan lebih berharga dari medali. Teman-teman yang saya temui di kompetisi sering kali menjadi kolaborator di proyek-proyek masa depan.
- Proses adalah hadiah. Malam-malam begadang merancang solusi, debugging kode hingga jam 3 pagi, dan berdiskusi dengan tim tentang pendekatan terbaik—itulah momen yang membentuk karakter dan kompetensi saya.
Saya percaya bahwa kesuksesan sejati bukan tentang menang sekali, tetapi tentang keberanian untuk terus mencoba meskipun belum meraih kemenangan. Dan saya yakin, suatu hari nanti, semua cerita dan pelajaran ini akan menjadi fondasi kemenangan yang lebih bermakna.
1.3 Perjalanan Kepemimpinan: Dari Staff IT Hingga Memimpin Tim
Jika ada satu benang merah dalam perjalanan saya di ITB, itu adalah dedikasi saya pada bidang Information Technology (IT) dan kepanitiaan. Sejak semester 1, saya memutuskan untuk terjun ke dunia kepanitiaan sebagai cara untuk berkontribusi, belajar, dan mengembangkan keterampilan di luar ruang kuliah.
1.3.1 Semester 1-2: Belajar dari Nol sebagai Staff IT
Di awal perjalanan, saya bergabung sebagai staff IT biasa di berbagai kepanitiaan. Peran saya sederhana: membantu setup teknis, troubleshooting masalah di lapangan, dan memastikan sistem berjalan lancar. Meskipun terlihat sepele, pengalaman ini mengajarkan saya:
- Pentingnya detail dalam eksekusi teknis. Satu kabel yang tidak terhubung bisa menghentikan seluruh acara.
- Kerja tim dan komunikasi. IT bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang mendengarkan kebutuhan divisi lain dan memberikan solusi yang praktis.
- Manajemen waktu dan tekanan. Bekerja di kepanitiaan mengajarkan saya untuk tetap tenang dan solutif di bawah deadline ketat.
1.3.2 Semester 3-4: Meningkatkan Kapasitas dan Tanggung Jawab
Seiring waktu, saya mulai dipercaya dengan tanggung jawab yang lebih besar. Saya tidak lagi hanya “mengikuti instruksi,” tetapi mulai merancang sistem, mengkoordinasikan tim kecil, dan berkontribusi pada perencanaan strategis.
Di fase ini, saya belajar tentang:
- Kepemimpinan kolaboratif. Memimpin bukan berarti memerintah, tetapi memberdayakan setiap anggota tim untuk memberikan yang terbaik.
- Problem-solving di bawah ketidakpastian. Tidak semua masalah memiliki solusi yang jelas di buku teks. Saya belajar untuk berpikir kreatif dan adaptif.
1.3.3 Semester 5: Memimpin di Level Tertinggi
Di semester 5 ini, kepercayaan yang diberikan kepada saya meningkat secara signifikan. Saya dipercaya untuk memimpin di tiga posisi strategis:
1.3.3.1 1. Ketua IT Parade Wisuda Oktober ITB 2025
Parade Wisuda adalah salah satu acara paling bergengsi dan emosional di ITB, di mana ribuan wisudawan, keluarga, dan sivitas akademika berkumpul untuk merayakan pencapaian. Sebagai Ketua IT, saya bertanggung jawab untuk:
- Merancang dan mengimplementasikan sistem registrasi online yang dapat menangani ribuan pendaftar.
- Mengelola infrastruktur teknis untuk live streaming, sound system, dan dokumentasi acara.
- Memimpin tim IT yang terdiri dari belasan orang dengan latar belakang dan keahlian yang beragam.
- Melakukan troubleshooting real-time di hari H untuk memastikan tidak ada satu pun gangguan teknis yang mengganggu acara sakral ini.
Pengalaman ini mengajarkan saya tentang kepemimpinan di bawah tekanan tinggi dan pentingnya perencanaan matang serta kesiapan untuk skenario terburuk.
1.3.3.2 2. Direktur Jenderal Back-End di Keluarga Mahasiswa ITB (KM ITB)
Di tingkat organisasi kampus, saya dipercaya sebagai Direktur Jenderal Back-End KM ITB, sebuah posisi yang bertanggung jawab untuk:
- Mengkoordinasikan seluruh divisi back-end di berbagai program kerja KM ITB.
- Merancang arsitektur sistem untuk platform digital KM ITB yang digunakan oleh ribuan mahasiswa.
- Menjembatani komunikasi antara tim teknis dan non-teknis untuk memastikan teknologi dapat mendukung visi organisasi.
- Membangun budaya dokumentasi dan best practices dalam pengembangan software di lingkungan KM ITB.
Peran ini mengajarkan saya tentang strategic thinking, stakeholder management, dan bagaimana teknologi dapat menjadi enabler untuk gerakan mahasiswa.
1.3.3.3 3. Ketua Back-End di Perlombaan Tahunan HMIF ITB
Posisi terakhir—dan mungkin yang paling menantang—adalah sebagai Ketua Back-End di perlombaan tahunan paling bergengsi yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Informatika (HMIF ITB). Perlombaan ini menarik ratusan peserta dari seluruh Indonesia, dan sistem back-end yang saya pimpin menjadi tulang punggung seluruh kompetisi, mulai dari:
- Sistem pendaftaran dan manajemen peserta.
- Platform submission untuk peserta yang harus dapat menangani ratusan submission secara concurrent.
- Real-time leaderboard yang membutuhkan performa tinggi dan latensi rendah.
- Sistem judging otomatis yang harus akurat dan fair.
Tantangan terbesar adalah memastikan sistem tetap stabil meskipun di-load oleh ratusan user secara bersamaan, terutama di detik-detik akhir submission. Ini mengajarkan saya tentang scalability, load testing, error handling, dan pentingnya monitoring sistem secara proaktif.
1.4 Refleksi: Apa yang Saya Pelajari dari Perjalanan Ini?
Lima semester di ITB telah membentuk saya tidak hanya sebagai seorang engineer, tetapi juga sebagai seorang pemimpin, problem-solver, dan storyteller. Beberapa pelajaran terpenting yang saya bawa:
1.4.1 Kegagalan adalah Proses, Bukan Akhir
Tidak pernah menang lomba bukan berarti saya tidak berkembang. Setiap kegagalan mengajarkan saya tentang resiliensi, adaptasi, dan pentingnya terus belajar. Saya kini melihat kegagalan sebagai data point yang memberi tahu saya di mana saya harus meningkatkan diri.
1.4.2 Kepemimpinan Adalah tentang Memberdayakan, Bukan Memerintah
Sebagai pemimpin di berbagai organisasi, saya belajar bahwa pemimpin terbaik adalah mereka yang membuat orang lain merasa capable dan valued. Saya berusaha menciptakan lingkungan di mana setiap anggota tim merasa aman untuk berkontribusi, bertanya, dan bahkan membuat kesalahan—karena kesalahan adalah bagian dari proses belajar.
1.4.3 Teknologi Adalah Alat, Dampak Adalah Tujuan
Saya tidak hanya ingin menjadi programmer yang jago coding. Saya ingin menjadi technology enabler yang memahami bagaimana sistem yang saya bangun dapat memberdayakan komunitas, mempermudah hidup orang lain, dan menciptakan dampak positif.
1.4.4 Komunitas Adalah Kekuatan Terbesar
Semua pencapaian saya tidak akan mungkin tanpa dukungan dari teman-teman, mentor, dan komunitas di sekitar saya. Saya percaya bahwa kesuksesan sejati adalah kesuksesan yang dibagikan, dan saya berkomitmen untuk terus berkontribusi pada komunitas yang telah banyak memberi kepada saya.
1.5 Visi ke Depan: Dari Pengumpul Cerita Menjadi Pencerita Kemenangan
Saya tahu bahwa perjalanan saya belum selesai. Masih banyak lomba yang ingin saya ikuti, masih banyak sistem yang ingin saya bangun, dan masih banyak tantangan yang ingin saya taklukkan. Namun, saya kini membawa sesuatu yang lebih berharga dari piala: pengalaman, karakter, dan jaringan yang telah saya kumpulkan selama lima semester ini.
Suatu hari nanti, saya tidak hanya ingin membawa pulang piala untuk diri saya sendiri, tetapi juga membantu orang lain meraih kemenangan mereka—baik itu melalui sistem yang saya bangun, kepemimpinan yang saya berikan, atau cerita yang saya bagikan.
Karena pada akhirnya, kesuksesan bukan tentang seberapa banyak piala yang kita miliki, tetapi tentang seberapa banyak orang yang kita inspirasi dan berdayakan melalui perjalanan kita.
“Aku mengumpulkan cerita, pengalaman, dan harapan. Dan suatu hari nanti, semua itu akan menjadi kemenangan yang bermakna.”
1.6 Bagian II: Memahami Identitas Naratif—Kerangka Teoretis di Balik Cerita Hidup
1.6.1 Kisah yang Membentuk Diri: Mengenal Kekuatan Identitas Naratif
Setelah membagikan perjalanan saya, sekarang saatnya kita menyelam lebih dalam ke dalam kerangka teoretis yang menjelaskan mengapa cerita hidup kita begitu penting dalam membentuk identitas dan kesejahteraan kita.
Manusia adalah pencerita alami. Sejak zaman dahulu, kita selalu berusaha memahami kekacauan hidup dengan merangkainya menjadi sebuah cerita. Para ahli bahkan menyebut kita sebagai “organisme pencerita” (storytelling organisms) yang menjalani “kehidupan yang penuh cerita” (storied lives). Proses ini bukanlah sekadar menyusun fakta, melainkan sebuah proses aktif untuk menciptakan makna.
Kisah personal yang terus berkembang inilah yang disebut para psikolog sebagai “identitas naratif”—sebuah cerita yang kita bangun untuk memahami keberadaan kita, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan kita menjadi satu kesatuan yang utuh (3, 8). Cerita batin ini adalah proses penciptaan diri yang aktif, bukan sekadar menceritakan ulang kejadian. Kisah inilah yang menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar: “Siapa saya? Bagaimana saya sampai di sini? Ke mana saya akan pergi?” (5, 6).
1.6.2 Tiga Lapisan Diri Anda: Di Mana Cerita Hidup Anda Berada?
Psikolog Dan P. McAdams membagi kepribadian manusia ke dalam tiga tingkatan yang berbeda. Identitas naratif merupakan tingkatan tertinggi dan paling personal, yang menyatukan semua bagian lain dari diri kita (8).
Level 1: Sifat Dasar Ini adalah ciri-ciri umum kepribadian kita yang cenderung stabil, seperti apakah kita seorang introvert atau ekstrovert.
Level 2: Kepedulian Pribadi Ini mencakup hal-hal yang lebih spesifik seperti tujuan hidup, nilai-nilai yang kita pegang, dan keyakinan kita.
Level 3: Identitas Naratif Inilah kisah hidup yang kita ciptakan untuk mengikat Level 1 dan 2 menjadi sebuah narasi yang koheren dan bermakna. Ini adalah cerita tentang “diri” kita.
Wawasan paling memberdayakan dari konsep ini adalah: meskipun kita mungkin tidak dapat dengan mudah mengubah sifat dasar kita (Level 1), kita memiliki kekuatan untuk belajar mengubah cerita yang kita sampaikan tentang hidup kita (Level 3). Perubahan narasi ini terbukti memiliki dampak besar pada kesejahteraan dan kebahagiaan kita (9).
Namun, tidak semua cerita diciptakan sama. Mari kita lihat pola-pola naratif yang dapat membuat sebuah kisah hidup menjadi lebih memberdayakan.
1.6.3 Pola-Pola Kisah Kehidupan: Apa yang Membuat Sebuah Cerita Bermanfaat?
Penelitian menunjukkan bahwa tidak semua cerita yang kita bangun sama-sama bermanfaat bagi kesehatan mental kita (4). Beberapa tema naratif secara konsisten terhubung dengan kehidupan yang lebih sejahtera dan berkembang.
1.6.3.1 Penebusan vs. Kontaminasi: Mengubah Penderitaan Menjadi Kekuatan
Salah satu pola naratif yang paling penting adalah cara kita membingkai peristiwa sulit.
Cerita Penebusan (Redemption Story) adalah narasi yang bergerak dari situasi negatif ke hasil yang positif (misalnya, kegagalan yang memberikan pelajaran berharga, atau penderitaan yang melahirkan kekuatan baru). Pola ini sangat kuat kaitannya dengan kebahagiaan, kepuasan hidup, dan resiliensi (7).
Cerita Kontaminasi (Contamination Story) adalah kebalikannya. Cerita ini dimulai dari peristiwa baik yang kemudian berubah menjadi buruk. Kisah semacam ini seperti “tumpahan minyak yang meracuni air,” menjebak sang pencerita dalam rasa sakit dan putus asa (3, 11).
1.6.3.2 Agensi vs. Kepasifan: Menjadi Pahlawan dalam Kisah Anda
Pola penting lainnya adalah peran yang kita ambil dalam cerita kita sendiri.
Agensi (Agency) adalah ketika kita menampilkan diri sebagai aktor utama dalam cerita kita—seseorang yang secara aktif membuat keputusan, mengambil tindakan, dan mengatasi rintangan. Mengembangkan rasa agensi dalam cerita hidup adalah salah satu prediktor terkuat untuk perbaikan dalam terapi (3, 7).
Kepasifan (Passivity) ditandai dengan perasaan menjadi korban keadaan. Dalam narasi ini, peristiwa seolah-olah “terjadi begitu saja pada” sang pencerita, yang digambarkan sebagai korban pasif dari takdir atau tindakan orang lain (8).
Tabel berikut merangkum tema-tema naratif yang membangun dan merusak, beserta dampaknya bagi kesejahteraan kita.
| Pola Naratif | Dampak Psikologis |
| Pola Naratif yang Membangun (Generative Themes) | |
| Penebusan (Negatif → Positif) | Meningkatkan kebahagiaan, kepuasan hidup, resiliensi, dan generativitas (keinginan untuk berkontribusi pada kesejahteraan generasi mendatang) (4, 7). |
| Agensi (Diri sebagai Aktor Efektif) | Meningkatkan kepercayaan diri, kesehatan mental, dan merupakan prediktor kuat perbaikan dalam terapi (7). |
| Koneksi (Hubungan & Rasa Memiliki) | Meningkatkan kesejahteraan, mengurangi rasa kesepian, dan memberikan rasa memiliki tujuan hidup yang lebih besar (8). |
| Pola Naratif yang Merusak (Disruptive Themes) | |
| Kontaminasi (Positif → Negatif) | Menurunkan kesejahteraan, menyebabkan depresi, keputusasaan, dan perasaan terperangkap dalam pengalaman negatif (3). |
| Kepasifan (Diri sebagai Korban) | Menimbulkan perasaan menjadi korban, demotivasi, rasa tidak berdaya, depresi, dan hasil kesehatan mental yang buruk (8). |
| Isolasi (Terputus dari Orang Lain) | Menyebabkan kesepian, keputusasaan, kurangnya dukungan sosial, dan meningkatkan kerentanan terhadap gangguan psikologis (8). |
Lalu, bagaimana pikiran kita menciptakan pola-pola naratif ini? Jawabannya terletak pada sebuah proses kognitif yang luar biasa.
1.6.4 Seni Memberi Makna: Kekuatan Super Anda dalam Bernalar
Pikiran kita memiliki “mesin pembuat makna” yang disebut penalaran otobiografis (autobiographical reasoning). Inilah kemampuan kognitif yang memungkinkan kita menghubungkan peristiwa-peristiwa dalam hidup dengan identitas diri kita dan memahami signifikansinya (10).
Tanpa penalaran ini, hidup kita hanyalah daftar kejadian. Dengan penalaran ini, hidup kita menjadi sebuah cerita yang bermakna.
Temuan paling penting dari psikologi naratif adalah ini: kemampuan kita untuk memaknai peristiwa sulit secara positif (misalnya, menemukan hikmah atau pelajaran) lebih berpengaruh pada kesejahteraan kita daripada peristiwa itu sendiri (10). Ini bukan sifat bawaan, melainkan sebuah keterampilan yang bisa dipelajari dan dilatih.
Memahami hal ini memberi kita kekuatan. Langkah-langkah berikutnya adalah latihan praktis untuk mengasah ‘mesin pembuat makna’ ini dan menjadi penulis yang lebih sadar atas kisah hidup kita sendiri.
1.6.6 Kesimpulan: Kisah Anda Adalah Perjalanan yang Terus Berlanjut
Pada akhirnya, kita semua adalah penulis kisah hidup kita sendiri. Cerita yang kita sampaikan kepada diri kita sendiri secara aktif menciptakan realitas kita. Kisah hidup yang sehat ditandai oleh tema-tema penebusan, di mana kesulitan diubah menjadi pertumbuhan, dan agensi, di mana kita menjadi pahlawan dalam perjalanan kita sendiri.
Tujuannya bukanlah untuk menulis sebuah cerita yang “sempurna” dan tanpa cela. Tujuannya adalah untuk menumbuhkan keberanian untuk terus menulis, terus mencari makna, dan menjadi penulis sebuah kisah hidup yang berani, jujur, dan layak untuk diceritakan.
1.7 Bagian III: Refleksi Pribadi—Menerapkan Identitas Naratif pada Perjalanan Saya
Setelah memahami kerangka teoretis identitas naratif, kini saatnya saya merefleksikan perjalanan saya sendiri melalui lensa ini.
1.7.1 Pola Penebusan dalam Perjalanan Saya
Jika saya melihat kembali perjalanan saya melalui kerangka cerita penebusan (redemption story), saya menyadari bahwa:
Setiap kekalahan dalam lomba bukanlah akhir dari cerita, melainkan titik balik yang mengajarkan saya tentang resiliensi. Alih-alih melihat diri saya sebagai “pecundang,” saya belajar membingkai pengalaman ini sebagai “pengumpul pengalaman yang sedang mempersiapkan diri untuk kemenangan yang lebih besar.”
Dari staff IT biasa menjadi pemimpin adalah contoh klasik dari narasi penebusan. Saya memulai dari posisi yang sederhana, menghadapi tantangan teknis dan interpersonal, tetapi secara konsisten mengubah setiap tantangan menjadi kesempatan untuk belajar.
Malam-malam begadang debugging kode yang awalnya terasa seperti siksaan, kini saya lihat sebagai momen-momen pembentukan karakter yang membuat saya menjadi engineer yang lebih tangguh.
1.7.2 Agensi: Menjadi Aktor Utama dalam Cerita Saya
Salah satu pelajaran terpenting yang saya ambil dari kerangka identitas naratif adalah pentingnya agensi—melihat diri saya sebagai aktor yang aktif membuat keputusan, bukan sebagai korban keadaan.
Dalam perjalanan saya:
Memutuskan untuk terus mengikuti lomba meskipun belum pernah menang adalah bentuk agensi. Saya tidak membiarkan kegagalan menentukan tindakan saya.
Memilih untuk terlibat aktif dalam kepanitiaan IT sejak semester 1 adalah keputusan sadar yang membentuk trajectory karir saya.
Menerima tanggung jawab sebagai Ketua IT di berbagai acara besar adalah bentuk agensi tertinggi—saya tidak menunggu kesempatan datang, tetapi secara aktif mempersiapkan diri agar siap ketika kesempatan itu tiba.
1.7.3 Eksternalisasi Masalah: Memisahkan “Kegagalan” dari Identitas Saya
Salah satu teknik yang sangat membantu saya adalah eksternalisasi masalah. Alih-alih berpikir:
“Saya adalah pecundang yang tidak pernah menang lomba,”
Saya belajar membingkai ulang menjadi:
“Saya adalah pembelajar yang sedang berhadapan dengan tantangan untuk meraih kemenangan pertama.”
Pergeseran bahasa ini sangat powerful karena:
- Kegagalan bukan lagi bagian dari identitas saya, melainkan sesuatu yang eksternal yang bisa saya hadapi dan atasi.
- Saya tidak lagi merasa “trapped” dalam narasi kegagalan, tetapi melihatnya sebagai bagian dari proses menuju kesuksesan.
1.7.4 Momen Berkilau: Bukti Bahwa Saya Sedang Berkembang
Meskipun belum pernah menang lomba, saya memiliki banyak “momen berkilau” (sparkling moments)—momen-momen kecil yang membuktikan bahwa saya sedang berkembang:
Setiap kali sistem yang saya bangun berjalan lancar di hari H acara—itu adalah kemenangan kecil yang menunjukkan kompetensi teknis saya.
Setiap kali anggota tim saya datang kepada saya untuk meminta saran—itu adalah bukti bahwa saya dipercaya sebagai pemimpin.
Setiap kali saya berhasil men-debug masalah yang kompleks setelah berjam-jam mencoba—itu adalah bukti dari ketekunan dan problem-solving skill saya.
Momen-momen ini mungkin tidak terlihat besar di mata orang lain, tetapi bagi saya, ini adalah bukti konkret bahwa saya sedang menulis cerita penebusan yang lebih besar.
1.7.5 Koneksi dan Komunitas: Kekuatan di Balik Perjalanan Saya
Salah satu tema naratif yang paling penting dalam perjalanan saya adalah koneksi. Saya tidak melakukan semua ini sendirian:
Teman-teman seperjuangan di setiap kepanitiaan adalah sumber dukungan emosional dan pembelajaran.
Mentor dan senior yang memberikan guidance adalah bagian integral dari cerita saya.
Komunitas HMIF ITB dan KM ITB adalah ekosistem yang memungkinkan saya untuk tumbuh, berkontribusi, dan menemukan makna dalam pekerjaan saya.
Tanpa koneksi ini, perjalanan saya akan jauh lebih sulit dan kurang bermakna. Ini mengajarkan saya bahwa kesuksesan sejati adalah kesuksesan yang dibagikan.