2  UTS-2 My Songs for You

2.1 Membasuh - Hindia: Ketika Air Menjadi Metafora Kehidupan

Artis: Hindia
Album: Menari Dengan Bayangan (2019)
Genre: Indonesian Indie Pop

“Bisakah kita tetap memberi walau tak suci? Bisakah terus mengobati walau membiru?”

Pernahkah Anda merasakan momen di mana Anda merasa “kering” secara emosional—seperti sumur yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan? Lagu “Membasuh” dari Hindia berbicara tentang paradoks yang sangat manusiawi: bagaimana tetap memberi ketika kita sendiri kosong, bagaimana tetap mengobati ketika kita sendiri terluka.

Tema utama lagu ini bukan tentang “mulai dari awal dengan bersih,” tapi justru tentang tetap memberi bahkan dalam ketidaksempurnaan. Hindia dengan jujur bertanya: bisakah kita tetap memberi walau tak suci? Bisakah mengampuni tanpa memperhitungkan masa lalu? Dan yang paling powerful—bisakah kita tetap membasuh walau kering?

Ini bukan lagu tentang kesempurnaan. Ini tentang keberanian untuk tetap berbuat baik meskipun kita sendiri masih dalam proses penyembuhan. Dan itulah yang membuatnya sangat relevan dengan kehidupan mahasiswa: kita sering dituntut untuk “memberi” (dalam organisasi, proyek, tim) padahal kita sendiri masih “mengering” (capek, overwhelmed, questioning ourselves).

2.1.1 Video Official

2.1.2 Cerita Di Balik Lagu: “Mengering Sumurku, Terisi Kembali”

Saya pertama kali benar-benar mendengarkan “Membasuh” di tahun pertama SMA Pradita Dirgantara, Jawa Tengah. Bukan mendengar—tapi mendengarkan. Ada perbedaan.

Waktu itu, saya sedang di titik terendah masa adaptasi: jauh dari Samarinda, jauh dari keluarga, merasa completely alone di tempat asing. Sistem asrama yang strict, bahasa yang tidak familiar, makanan yang berbeda, dan lingkaran sosial yang belum terbentuk. Saya merasa… kering. Seperti sumur yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan—bahkan untuk diri sendiri.

Suatu malam, setelah ujian yang rasanya berat banget, saya duduk sendirian di asrama. Entah bagaimana, lagu ini muncul di playlist random.

“Selama ini kunanti, yang kuberikan datang berbalik… Tak kunjung pulang.”

Bait pembuka itu langsung menohok. Hindia dengan jujur mengakui bahwa ia memberi dengan ekspektasi—menunggu sesuatu kembali. Dan ketika tidak datang? “Tak kunjung pulang.”

Rasanya seperti Hindia sedang mendeskripsikan perasaan saya waktu itu. Saya datang ke Jawa Tengah dengan ekspektasi: “Pasti bisa kok adapt cepat,” “Pasti bakal dapat teman,” “Pasti worth it.” Tapi reality? Tidak secepat yang saya bayangkan. Effort yang saya berikan—trying to fit in, trying to be friendly—rasanya tidak “kembali” dalam bentuk connection yang saya harapkan.

Momen “Aha!” Saya:

Tapi kemudian Hindia melanjutkan dengan baris yang mengubah segalanya:

“Telah kusadar hidup bukanlah perihal mengambil yang kau tebar”

Wait. Jadi selama ini saya salah fokus? Hidup bukan tentang “menabung effort” lalu “menarik hasil”? Bukan tentang “give and expect return”?

Dan kemudian bagian yang paling powerful—yang sampai sekarang masih saya ingat betul:

“Mengering sumurku, terisi kembali. Kutemukan makna hidupku di sini.”

This line changed my perspective completely.

Lagu ini bukan tentang “jangan pernah mengering” (yang unrealistik), tapi tentang siklus alami: mengering itu normal, inevitable, bahkan necessary. Dan justru dalam proses mengering dan terisi kembali inilah kita menemukan makna.

Tahun pertama SMA di Jawa Tengah: mengering—lost, homesick, struggling.
Tahun kedua: mulai terisi kembali—menang lomba komputer, menemukan circle, build confidence.
Tahun ketiga: penuh—dan siap untuk chapter baru (ITB).

Dan sekarang, di ITB semester 5, siklus itu repeat lagi: adapt ke Jatinangor (mengering dikit), build community (terisi kembali), lead organizations (memberikan).

Sejak malam itu di asrama Jawa Tengah, setiap kali merasa “mengering”—capek, burnt out, homesick, overwhelmed—saya ingat: ini bukan akhir. Ini bagian dari siklus. Sumur yang mengering akan terisi kembali. Yang penting: tetap bersedia memberi, bahkan ketika sedang tidak sempurna (“walau tak suci”), bahkan ketika sedang terluka (“walau membiru”).

2.1.3 Ironi Manis: “Walau Kering, Bisakah Kita Tetap Membasuh?”

Ada pertanyaan yang Hindia ajukan di chorus yang terdengar paradoks: “Walau kering, bisakah kita tetap membasuh?”

Tunggu—gimana caranya membasuh kalau kering? Itu kan kontradiktif?

Plot twist: Justru di situlah letak humor dan kebijaksanaannya. Dalam hidup mahasiswa aktif organisasi (apalagi pegang posisi seperti Ketua IT, Dirjen, atau Ketua divisi), kita sering banget diminta “membasuh” orang lain—solve their problems, lead the team, kasih support—padahal kita sendiri lagi “kering.”

Real examples dari pengalaman saya:

  1. Tahun pertama SMA di Jawa Tengah: Saya sendiri lagi “kering” (homesick, struggling to adapt, feeling lost). Tapi ada teman se-asrama yang juga dari luar Jawa, dia even more struggling than me. Dan entah gimana, saya tetap trying to support dia—ajak ngobrol, share tips kecil, bahkan cuma constitute presence. Walau kering (I was barely surviving myself), tetap membasuh (trying to help someone else survive).

  2. Tahun kedua SMA, setelah menang lomba komputer: Confidence mulai terisi kembali. Ada junior yang baru masuk, dia exactly seperti “past me”—lost, homesick, struggling. Saya ingat rasanya, jadi saya reach out. Share cerita saya. Bilang “it gets better.” Sumur mulai terisi kembali, dan saya bisa memberi dari pengalaman yang dulunya menyakitkan.

Dan ini yang bikin saya ketawa (dan nangis dikit): Ternyata proses “membasuh orang lain walau kering” itu justru yang mengisi kembali sumur kita. Seperti liriknya: “Mengering sumurku, terisi kembali, kutemukan makna hidupku di sini.”

The irony: Di tahun pertama Jawa Tengah, saya merasa paling “kering”—tapi justru di saat itulah saya mulai belajar untuk “memberi walau mengering” (support teman yang juga struggling). Dan process itu, over time, yang mengisi kembali sumur saya. Bukan instantly, tapi gradually.

Makna hidup bukan di “achievement” atau “trophy” atau “always feeling full”—tapi di proses tetap memberi walau tidak sempurna, dan dalam proses itu menemukan bahwa giving actually refills you. Dan ironisnya? Kita jadi lebih kaya (bukan secara material, tapi secara experience dan connection) justru karena berani “memberi walau mengering.”

Connection to my “merantau” story: Setiap kali pindah (Samarinda → Jawa Tengah → Jatinangor), saya “mengering” lagi (adaptasi, loneliness). Tapi setiap kali saya choose to “memberi walau mengering” (reach out, build connections, support others), saya “terisi kembali.” Dan cycle itu repeats, dan setiap cycle, saya jadi stronger, more capable, more connected.


2.1.4 Lirik Lengkap: “Membasuh” - Hindia

Selama ini kunanti
Yang kuberikan datang berbalik
Tak kunjung pulang

Apa pun yang terbilang
Di daftar pamrihku seorang
Telah kusadar hidup bukanlah
Perihal mengambil yang kau tebar

Sedikit air yang kupunya
Milikmu juga bersama

Bisakah kita tetap memberi
Walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
Walau membiru?

Cukup besar 'tuk mengampuni
'Tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu

Walau kering
Bisakah kita tetap membasuh?

Kita bergerak dan bersuara
Berjalan jauh tumbuh bersama
Sempatkan pulang ke beranda
'Tuk mencatat hidup dan harganya

Bisakah kita tetap memberi
Walau tak suci?
Bisakah terus mengobati
Walau membiru?

Cukup besar 'tuk mengampuni
'Tuk mengasihi
Tanpa memperhitungkan masa yang lalu

Walau kering
Bisakah kita tetap membasuh?

Mengering sumurku
Terisi kembali
Kutemukan
Makna hidupku di sini

Untuk mendengarkan: - YouTube: Hindia - Membasuh (Official Music Video) - Platform Streaming: Spotify, Apple Music, dan platform musik lainnya


2.2 Pesan yang Ingin Saya Sampaikan: “Sedikit Air yang Kupunya, Milikmu Juga Bersama”

Jika Anda membaca ini dan sedang merasa “mengering”—burnt out, overwhelmed, merasa ga punya apa-apa lagi untuk dikasih—ini untuk Anda:

Anda tidak perlu “penuh” untuk tetap memberi. Anda tidak perlu “suci” untuk tetap bermakna.

Hindia mengajarkan konsep yang radikal di lagu ini: “Sedikit air yang kupunya, milikmu juga bersama.” Artinya, bahkan ketika kita hanya punya sedikit, kita masih bisa berbagi. Dan sharing that little bit justru yang makes us human—bukan perfection kita, tapi willingness kita untuk tetap memberi despite keterbatasan.

Saya tidak akan bohong dan bilang “kamu ga akan pernah mengering” atau “just stay positive.” Yang lebih jujur adalah: kamu AKAN mengering. Berkali-kali. Dan that’s okay. Seperti lirik Hindia: “Mengering sumurku, terisi kembali.” It’s a cycle. Yang penting bukan “jangan pernah kering,” tapi tetap bersedia terisi kembali dan tetap bersedia memberi meski sedang dalam proses pengisian.

2.2.1 Challenge untuk Kita Semua: “Tetap Membasuh Walau Kering”

Coba ini minggu depan: Ketika Anda diminta memberi sesuatu (waktu, tenaga, support, solution) padahal Anda sendiri sedang merasa “kering”:

  1. Acknowledge your emptiness honestly: “Gue lagi kering nih sebenernya.” (Jangan pura-pura sempurna)
  2. Give anyway, tapi dengan boundary: “Gue bisa bantu, tapi mungkin ga sempurna ya.” (Set realistic expectations)
  3. Notice what happens: Apa benar memberi walau kering itu menguras? Atau justru somehow mengisi kembali?

Pertanyaan Hindia yang paling powerful:

  • “Bisakah kita tetap memberi walau tak suci?” → Bisakah kita contribute meski belum perfect?
  • “Bisakah terus mengobati walau membiru?” → Bisakah kita help others meski kita sendiri wounded?
  • “Cukup besar ’tuk mengampuni tanpa memperhitungkan masa yang lalu?” → Bisakah kita move forward tanpa counting scores?

My hypothesis (yang terus saya test): Justru dengan tetap memberi walau tidak sempurna, kita menemukan makna. Seperti liriknya—“Kutemukan makna hidupku di sini”—di sini, di dalam paradoks memberi walau mengering.

Dan jika Anda butuh soundtrack untuk proses itu—you know what to play


2.3 Refleksi Akhir: “Sempatkan Pulang ke Beranda ’Tuk Mencatat Hidup dan Harganya”

Ada baris di lagu ini yang sering saya skip pas pertama kali dengar, tapi ternyata paling meaningful:

“Sempatkan pulang ke beranda ’tuk mencatat hidup dan harganya”

Dalam kesibukan mahasiswa semester 5 (kuliah, organisasi, proyek, deadline bertubi-tubi), kita sering lupa “pulang ke beranda”—berhenti sejenak untuk reflect: What’s the value of all this hustle? Apa harga yang sedang kubayar? Dan apakah worth it?

“Membasuh” bukan lagu tentang kesuksesan atau pencapaian. It’s about finding meaning in the process of giving, even when we’re not perfect. Dan dalam konteks komunikasi interpersonal yang kita pelajari, lagu ini mendemonstrasikan sesuatu yang sangat profound: vulnerable communication—berbagi bukan dari posisi “sudah sampai” tapi dari posisi “sedang dalam perjalanan.”

Ketika Hindia bertanya “Bisakah kita tetap memberi walau tak suci?”, dia tidak pura-pura punya semua jawaban. Dia mengundang kita untuk honest about our limitations. Dan paradoksnya? Honesty about our “kekeringan” itu justru yang creates genuine connection.


2.3.1 Mengapa Lagu Ini Perfect untuk UTS-2 (Meta Reflection)

Saya memilih “Membasuh” untuk UTS-2 bukan karena ini lagu favorit saya (I have many!), tapi karena lagu ini embodies the philosophy yang saya coba praktikkan dalam komunikasi interpersonal:

  1. Orisinalitas: Tidak pakai bahasa klise motivasi murahan. Pakai paradoks yang jujur.
  2. Keterlibatan: Ajak pembaca/pendengar bertanya pada diri sendiri (Bisakah kita…?)
  3. Humor: Ada ironi manis dalam “tetap membasuh walau kering”—kontradiktif tapi relatable
  4. Inspirasi: Bukan dari “you can do it!” yang kosong, tapi dari “it’s okay to not be okay, and still try anyway”

Dan yang paling penting: lagu ini mengingatkan bahwa collecting stories, experiences, and the courage to “memberi walau mengering” is more valuable than collecting trophies.


TL;DR untuk yang suka ringkasan:
Lagu “Membasuh” mengajarkan bahwa hidup bukan tentang “mengambil yang kau tebar” (transaksional), tapi tentang tetap memberi meski tidak sempurna, tetap mengobati meski terluka, tetap membasuh meski kering. Dan justru dalam siklus “mengering dan terisi kembali” itulah kita menemukan makna.

Mengering sumurku, terisi kembali, kutemukan makna hidupku di sini.

(Dan ya, this is my way of saying: your imperfection is not a bug, it’s a feature. Embrace the cycle.)